Wednesday, 13 September 2017

Menulis Diary




Beberapa malam yang lalu, iseng tangan ini meraih sebuah buku yang sudah agak berdebu dari rak. Beberapa bulan ini saya tak pernah lagi bercerita, mencorat-coret, dan berkeluh kesah pada sebuah buku yang sudah lusuh. Catatan harian atau diary, begitu kita biasa menyebutnya. Mengapa saya bisa selama itu tidak menggoreskan pena lagi di atasnya? Entahlah, saya pun tak mengerti kenapa. Saya tetap menulis, tapi memang tak lagi di buku diary itu. Tapi kelusuhan sang diary justru mengusik memori saya agar kembali bercengkerama dengannya. Rasanya tangan ini gatal untuk bercerita, terkadang menulis sambil tersenyum, bersama diary.

Saya pernah mencoba mengganti kebiasaan menulis diary secara manual (di buku) dengan menulis diary di komputer. Sempat beberapa bulan kebiasaan tersebut berlangsung. Tapi saya tak menemukan jiwanya. Rasanya, menulis dengan pulpen itu lebih mengalirkan emosi ke tulisan yang kita bubuhkan di diary. Setelah saya baca ulang, kesannya memang berbeda antara tulisan di buku dengan tulisan yang dibuat di komputer.

Bagi mereka yang keranjingan menulis diary, pasti paham betul bahwa diary bukanlah sekadar kumpulan kertas. Diary seperti lukisan yang bisa bercerita tentang sebuah peristiwa di masa lalu. Saya bisa saja tersenyum ataupun sedih saat membaca tulisan-tulisan yang pernah saya buat di diary. (senyum-senyum juga sih )

Nah, lalu apa motif sebenarnya dari seseorang yang gemar menulis diary? Beberapa teman yang dulu pernah saya tanyakan, kebanyakan menjawab menulis diary sebagai sebuah pelampiasan. Diary dianggap sebagai teman yang bisa menampung segala keluh kesah, tanpa pernah marah ataupun menggurui. Saya sendiri mulai menulis diary sejak saya SD (kelas 6). Dulu rutinitas menulis diary, benar-benar setiap hari, dimulai dari kelas 6 SD sampai SMP, pas saya SMA hingga saya kuliah kebiasaan menulis diary masih saya lakukan meskipun tidak sesering dulu. Kurang lebih hampir segitu lamanya.

Awalnya ketika SD sampai SMP, saya hanya menulis masalah remeh temeh seputar kehidupan sekolah, masalah persahabatan, masalah suka sukaan, sampai masalah guru yang terlihat menakutkan. Tapi beranjak SMA, saya mulai menempatkan diary sebagai seorang teman. Ketika SMA, saya mulai menulis hal-hal yang menurut saya itu penting untuk didokumentasikan dalam diary. Banyak hal-hal indah yang perlu saya catat dan perlu saya simpan. Sampai saat inipun saya masih melakukannya, hingga ada banyak buku diary saya yang terjejer rapi dalam rak buku saya.

Mungkin anda bingung, bagaimana diary yang hanya berupa lembaran kertas bisa menjadi teman bagi manusia? Begini, memiliki diary berarti membuat kita selalu menulis. Artinya, kita akan selalu menyampaikan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, serta rasakan kedalam bentuk tulisan. Aktivitas membaca kembali catatan yang sudah kita tuliskan, sebenarnya adalah cara sederhana untuk mengenali siapa diri kita. Lebih jauh lagi, dengan menulis diary, sebenarnya bisa menjadi semacam terapi untuk mengatasi kecemasan (menurut saya sih)

Diary itu seperti cermin buat diri kita. Logikanya, dengan menulis, kita berarti mencoba melepaskan apa yang kita alami kedalam sebuah tulisan. Misalkan kalian sedang memikirkan kenapa tadi kalian tidak bisa menghasilkan ide cemerlang ketika diskusi dengan teman atau saat kuliah berlangsung. Padahal kalian yakin kalau kalian mampu melakukan itu. Nah, cobalah ambil pulpen, kemudian tuliskan apa yang kalian alami dan rasakan selama belajar tadi. Cobalah menulis secara kronologis. Tapi tak usah terlalu banyak memilih kata-kata, cukup tuliskan saja. Kalau sudah selesai, letakkan sejenak tulisan itu. Kemudian silakan baca lagi. Saya tidak menjamin, tapi kemungkinan besar kalian akan menemukan alasan kenapa tadi kalian bisa buntu ide.

Nah, menulis diary seperti meletakkan sebuah peristiwa keluar dari diri kita. Kita kemudian bisa melihat peristiwa itu secara objektif, tidak lagi dari sisi “aku”. Peristiwa yang hanya kita kenang dalam pikiran, cenderung akan menjadi biasa dan penuh penilaian yang subjektif. Saya pikir, menulis diary adalah salah satu media latihan untuk mengasah kemampuan menulis. Proses menulis diary cenderung terbebas dari faktor ingin dikenal dan dipuji orang lain.

Memang saat ini banyak orang yang menjadikan kisah hidup mereka sebagai santapan pembaca lewat blog atau media sosial lainnya. Tapi saya kira sebagian besar penulis diary menyimpan kisah mereka untuk konsumsi pribadi. Jadi, menulis diary adalah latihan yang baik untuk mengasah kepekaan melihat dan memberikan penilaian terhadap sebuah peristiwa. Kelak kalian akan sangat menikmati ketika membaca halaman demi halaman kisah hidup yang sudah kalian tuliskan. Percayalah, saya sudah membuktikannya…



No comments:

Post a Comment