Beberapa malam yang lalu, iseng tangan ini
meraih sebuah buku yang sudah agak berdebu dari rak. Beberapa bulan ini saya
tak pernah lagi bercerita, mencorat-coret, dan berkeluh kesah pada sebuah buku
yang sudah lusuh. Catatan harian atau diary, begitu kita biasa menyebutnya.
Mengapa saya bisa selama itu tidak menggoreskan pena lagi di atasnya? Entahlah,
saya pun tak mengerti kenapa. Saya tetap menulis, tapi memang tak lagi di buku
diary itu. Tapi kelusuhan sang diary justru mengusik memori saya agar kembali
bercengkerama dengannya. Rasanya tangan ini gatal untuk bercerita, terkadang
menulis sambil tersenyum, bersama diary.
Saya pernah mencoba mengganti kebiasaan menulis
diary secara manual (di buku) dengan menulis diary di komputer. Sempat beberapa
bulan kebiasaan tersebut berlangsung. Tapi saya tak menemukan jiwanya. Rasanya,
menulis dengan pulpen itu lebih mengalirkan emosi ke tulisan yang kita bubuhkan
di diary. Setelah saya baca ulang, kesannya memang berbeda antara tulisan di
buku dengan tulisan yang dibuat di komputer.
Bagi mereka yang keranjingan menulis diary,
pasti paham betul bahwa diary bukanlah sekadar kumpulan kertas. Diary seperti
lukisan yang bisa bercerita tentang sebuah peristiwa di masa lalu. Saya bisa
saja tersenyum ataupun sedih saat membaca tulisan-tulisan yang pernah saya buat
di diary. (senyum-senyum juga sih )
Nah, lalu apa motif sebenarnya dari seseorang
yang gemar menulis diary? Beberapa teman yang dulu pernah saya tanyakan,
kebanyakan menjawab menulis diary sebagai sebuah pelampiasan. Diary dianggap
sebagai teman yang bisa menampung segala keluh kesah, tanpa pernah marah
ataupun menggurui. Saya sendiri mulai menulis diary sejak saya SD (kelas 6).
Dulu rutinitas menulis diary, benar-benar setiap hari, dimulai dari kelas 6 SD
sampai SMP, pas saya SMA hingga saya kuliah kebiasaan menulis diary masih saya
lakukan meskipun tidak sesering dulu. Kurang lebih hampir segitu lamanya.
Awalnya ketika SD sampai SMP, saya hanya menulis
masalah remeh temeh seputar kehidupan sekolah, masalah persahabatan, masalah
suka sukaan, sampai masalah guru yang terlihat menakutkan. Tapi beranjak SMA,
saya mulai menempatkan diary sebagai seorang teman. Ketika SMA, saya mulai
menulis hal-hal yang menurut saya itu penting untuk didokumentasikan dalam
diary. Banyak hal-hal indah yang perlu saya catat dan perlu saya simpan. Sampai
saat inipun saya masih melakukannya, hingga ada banyak buku diary saya yang
terjejer rapi dalam rak buku saya.
Mungkin anda bingung, bagaimana diary yang hanya
berupa lembaran kertas bisa menjadi teman bagi manusia? Begini, memiliki diary
berarti membuat kita selalu menulis. Artinya, kita akan selalu menyampaikan apa
yang kita lihat, kita dengar, kita alami, serta rasakan kedalam bentuk tulisan.
Aktivitas membaca kembali catatan yang sudah kita tuliskan, sebenarnya adalah
cara sederhana untuk mengenali siapa diri kita. Lebih jauh lagi, dengan menulis
diary, sebenarnya bisa menjadi semacam terapi untuk mengatasi kecemasan (menurut
saya sih)
Diary itu seperti cermin buat diri kita.
Logikanya, dengan menulis, kita berarti mencoba melepaskan apa yang kita alami
kedalam sebuah tulisan. Misalkan kalian sedang memikirkan kenapa tadi kalian
tidak bisa menghasilkan ide cemerlang ketika diskusi dengan teman atau saat
kuliah berlangsung. Padahal kalian yakin kalau kalian mampu melakukan itu. Nah,
cobalah ambil pulpen, kemudian tuliskan apa yang kalian alami dan rasakan
selama belajar tadi. Cobalah menulis secara kronologis. Tapi tak usah terlalu
banyak memilih kata-kata, cukup tuliskan saja. Kalau sudah selesai, letakkan
sejenak tulisan itu. Kemudian silakan baca lagi. Saya tidak menjamin, tapi kemungkinan
besar kalian akan menemukan alasan kenapa tadi kalian bisa buntu ide.
Nah, menulis diary seperti meletakkan sebuah
peristiwa keluar dari diri kita. Kita kemudian bisa melihat peristiwa itu secara
objektif, tidak lagi dari sisi “aku”. Peristiwa yang hanya kita kenang dalam
pikiran, cenderung akan menjadi biasa dan penuh penilaian yang subjektif. Saya
pikir, menulis diary adalah salah satu media latihan untuk mengasah kemampuan
menulis. Proses menulis diary cenderung terbebas dari faktor ingin dikenal
dan dipuji orang lain.
Memang saat ini banyak orang yang menjadikan
kisah hidup mereka sebagai santapan pembaca lewat blog atau media sosial
lainnya. Tapi saya kira sebagian besar penulis diary menyimpan kisah mereka
untuk konsumsi pribadi. Jadi, menulis diary adalah latihan yang baik untuk
mengasah kepekaan melihat dan memberikan penilaian terhadap sebuah peristiwa.
Kelak kalian akan sangat menikmati ketika membaca halaman demi halaman kisah
hidup yang sudah kalian tuliskan. Percayalah, saya sudah membuktikannya…