Sunday, 16 July 2017

Apakah “Mengagumimu” Se-menyakitkan ini??



[Juli-2017] – “Setiap hari aku dirundung rasa
rindu yang berkecamuk sebegitu dalam. Dan dalam rapalan do’aku,  namamu masih selalu aku sebut. Sedikit sesak, hingga saat ini aku tak mampu lagi jika hanya mengucap nama depanmu. Ini bukan hanya perkara waktu yang sedikit, sudah miliaran detikku terbuang hanya untuk mengagumimu. Iya, masih aku akui “aku mengagumimu”. Tak pernah terfikir oleh akal sehatku, bahwa dirimu masih enggan pergi dari fikiran serta hatiku. Kamu masih berdiam, mengendap, semakin tajam. Aku hanya berharap, ini harus usai, karna aku tak sanggup untuk terus merasakan sakit yang tidak mampu aku tahan lagi” –

Penghujung bulan Juni kemarin, ada sebuah “Hujan” yang datangnya tidak pernah aku prediksikan. Tidak pernah aku bayangkan dia datang begitu derasnya. Hujan itu perlahan sangat menyejukkan. Dingin, hingga menusuk sela-sela tulangku. Aku mulai membiasakan hawa dinginnya masuk dalam tubuhku. Kutengadahkan jari-jari tanganku disetiap rintikannya. Sesekali menimpa pelan, sesekali dia jatuh begitu keras. Berhenti sejenak, kemudian turun lagi. Membuatku mau tidak mau harus menunggunya. Hujan terus turun seharian itu, hari hari berikutnya masih selalu datang. Dalam hujan itu, aku masih selalu membayangkan dirimu hadir disampingku. Mulai membangkitkan rasa kagumku lagi untukmu. Namun, seakan tak ingin diduakan, hujan datang begitu lebat, deras, dan riuhnya air yang mengalir semakin banyak. Hingga akhirnya, aku mulai menyerah lalu membiarkanmu tetap diam dalam satu titik difikiranku. Kupalingkan wajahku di sebelah jendela ruangan kamarku, disitulah aku bisa melihat hujan turun dan membiarkan membasahi jari-jariku. Mengalir disela-sela jari tanganku. Dan akhirnya, aku mulai mengaguminya.

Awal bulan Juli, cuaca masih tidak menentu. Hujan masih sering mengguyur kota tempatku tinggal. Dan hari itu, adalah benar-benar hari terburukku. Entah kenapa, hujan yang selalu kutunggu, tidak turun lagi. Langit masih mendung, angin masih tetap berhembus begitu dingin. Namun hujan yang kutunggu tetap tidak turun.  Oh Tuhan, apakah musim sudah mulai berganti. Apakah hujan itu hanya membuatku menjadi sedikit lupa. Apakah hujan itu hanya sebagai pelipur sesaat saja. Entahlah—
Ku buka lagi buku catatan dalam tas kecilku. Ku catatkan tanggal dimana hari itu hujan tidak turun (lagi). Aku membalik lembaran dibelakangnya, membuka pelan. Mataku menyayup, hatiku mulai bergetar. Dan disitulah, namamu masih begitu jelas tertulis. Iya, namamu lagi. Kali ini namamu begitu lengkap dengan tanggal ku menuliskannya dalam buku ku. Tepatnya, tiga tahun lalu aku menulis namamu. Tiga tahun, apakah menurutmu itu waktu yang sebentar?

Adalah aku, seorang wanita yang terkadang merasa bodoh telah mengagumimu. Adalah aku, seorang wanita yang tidak pantas untuk bisa bersamamu. Adalah aku, seorang wanita yang selalu mendongeng dalam hati, berharap bisa berjalan beriringan denganmu untuk sama-sama menuju surga-Nya. Adalah aku, seorang wanita yang begitu jauh untuk kamu lihat bahkan untuk kamu fikirkan barang sedetik saja tidak mungkin. Dan adalah aku, yang kadang tidak bisa menahan rindu saat aku mulai jauh dari dirimu.

Semua begitu tertata, aku menjaga untuk tidak membuatmu merasa terganggu. Bahkan hanya untuk menatapmu, aku pun tak kuasa. Aku menyiapkan jarak, agar diriku tidak terlihat bodoh saat ada disekitarmu. Dan aku lebih memilih diam, agar aku tidak terlihat gugup saat berbicara di depanmu.
Aku hanya seorang wanita yang tidak memiliki daya dan upaya apapun. Kita bak bumi dan langit. Begitu jauh, hingga aku tidak mampu menggapaimu. Terkadang rasa sedih tidak mampu aku tahan. Rasa takut pun juga masih aku rasakan. Mungkin ini sudah menjadi resiko dalam diriku, karna telah mengagumimu. Tahun berganti tahun, rasaku masih sama. Meskipun “Hujan” yang datang silih berganti, aku tidak pernah bisa melupakan bahkan menghapus namamu dalam catatanku. Ini terlihat sangat berlebihan, tapi itulah kenyataan yang aku rasakan. Sulit.

Dalam ribuan detik itu, aku berjuang untuk tidak membuatmu terganggu. Berjuang untuk terus menahan rasa kagumku dan berjuang agar semuanya tidak terasa menyesakkan. Kecewa, pasti itu pernah. Putus asa, sudah pasti sering terjadi. Aku mencoba untuk menciptakan bahagia agar hidupku tidak hanya terfokus padamu. Aku memiliki mimpi, dan semua mimpiku belum terlihat nyata. Aku hanya berharap, kelak dirimulah bisa menjadi salah satu mimpiku yang belum menjadi nyata itu. Ah, itu hanya harapanku, yang masih kusebut dalam do’aku.

Do’a. Hanya dengan mendo’akanmu adalah caraku yang paling tepat untuk bisa menggapaimu. Semoga Tuhan mengabulkan do’aku untukmu, agar langkahmu dimudahkan dalam segala hal apapun. Termasuk kemustahilan yang aku inginkan, yaitu langkahmu untuk menujuku dan sama-sama menuju Surga-Nya, berjalan beriringan, saling melengkapi, saling membahagiakan, dan saling menjadi baik di hadapanNya. Terkadang sedikit sesak saat aku mengucap kalimat itu, aku malu. Sangat-sangat malu. Aku yang tidak ada apa-apanya dibandingkan wanita di luar sana yang mungkin selalu kamu lihat, sedang aku hanyalah sebagian kecil kemungkinan untuk kamu lihat telah berani melakukan hal itu. Namun, itulah adalah cara terbaik bagiku. Caraku mengagumimu. Menjadikan Tuhan menjadi satu-satuNya tempat aku meminta dan menjadi saksi perjuanganku dalam mengagumimu.


Sempat aku berfikir, apakah mengagumi seseorang se-menyakitkan ini?. Mungkin tidak, faktanya aku sanggup menahannya. Aku mampu melewatinya sekian hari. Dan sampai aku merasa, aku harus menyerah.

No comments:

Post a Comment