Sunday, 26 February 2017

Surat Kecil Untuk IBU #Part2



Satu hal yang paling membuatku bahagia adalah bisa menceritakan segala hal kepada Ibu. Baik itu hal kecil ataupun hal yang besar. Kebiasaan ini dimulai sejak aku kecil. Dari dulu Ibu selalu menanyakan hal-hal yang tejadi padaku, tidak telat satu pun pertanyaan yang dilewatkannya. Dan uniknya aku tidak ragu untuk menjawabnya, begitu antusias. Hal itu juga masih terjadi saat aku tumbuh remaja, daftar pertanyaan Ibuku bertambah, bukan hal-hal yang umum lagi, namun sudah mulai merambah ke hal-hal yang terbilang pribadi. Ibuku bak wartawan infotainment yang berburu informasi tentang masalah pribadi anaknya. Dan lagi-lagi, aku pun tak ragu untuk bercerita padanya, bahkan sangat antusias. Semalam pun rasanya tak cukup untukku menjabarkan jawaban atas pertanyaan Ibu. Seiring waktu berjalan, saat usiaku sudah memasuki usia dewasa seperti sekarang, Ibuku tak pernah menghilangkan kebiasaan itu. Pertanyaannya selalu muncul ditelingaku, namun kini intensitasnya sudah mulai diminimalisir. Mungkin, Ibu mengerti posisiku yang sekarang ini, bahwa anak gadisnya telah tumbuh dengan baik tanpa harus dihantui dengan beribu pertanyaan ampuhnya. Namun, aku rindu akan momen itu, dimana kuhabiskan sekian malam untuk bercerita kepada Ibu tentang hal-hal yang terjadi padaku.

Begitu pula dengan Ibu. Tidak hanya pertanyaannya yang cukup membuatku sedikit pusing, namun sebagai buah hatinya, kebiasaan itu menurun padaku. Aku juga ikut terbiasa menciptakan berbagai pertanyaan untuk Ibuku. Dan hal yang juga membuatku bahagia adalah bisa mendengarkan cerita Ibu. Cerita Ibu mungkin sedikit lucu, lebih lucu dibanding ceritaku. Ibu sering menceritakan hal-hal yang terjadi pada orang disekitarnya. Orang-orang yang terekam dalam visual matanya disimpan dalam memorinya, lalu setelah kembali ke rumah semua memori itu Ibu ceritakan kepadaku. Dengan sedikit bumbu guyonan, mendengar cerita Ibu cukup membuat tawaku lepas hingga perutku terasa lemas menahan tawa yang sedikit berlebihan. Saat aku tertawa, Ibuku pun juga tertawa. Tawanya lepas, tidak ada beban, begitu ringan dan wajahnya mulai memperlihatkan beberapa kerutan. Sungguh, aku benar-benar bahagia.

Seakan tidak ingin kehilangan waktu, aku dan Ibu selalu meluangkan waktu untuk bertukar cerita. Saat aku merasa bahagia, saat aku merasa sulit, saat aku mulai mengenal rasa ingin menyerah, dan bahkan ketika aku juga mulai mengalami rasanya sakit karena patah hati, Ibu mengetahuinya. Ibu adalah orang pertama yang aku ceritakan tentang semua perasaan itu. Aku membutuhkan pundaknya, pun juga membutuhkan petuah-petuahnya yang begitu bijaksana. Saat aku mulai jarang berada di dekat Ibu, selalu kusempatkan untuk berbicara padanya melalui via telepon. Dan rutinitas itu sudah seperti aturan obat yang harus diminum kurang lebih 3 kali dalam sehari. Bahkan 3 kali belum cukup, bisa berubah digit menjadi 5 kali sampai 6 kali dalam sehari. Begitu juga dengan Ibu, lebih posesif dari yang aku bayangkan. Terkadang aku sempat dilempari beberapa omelan kecil karena aku mengabaikan panggilannya. Itu hal kecil, tapi bagiku sangat membahagiakan.

Aku dan Ibuku memiliki rentang usia 20 tahun. Iya, selisih usia kami. Mungkin karena hal itulah, aku sering merasa bahwa Ibu adalah sahabat terbaikku. Tempat paling nyaman untuk bercerita semua hal. Tak hanya usia, sifat dan kebiasaan pun tidak jauh beda. Mungkin hormon genetik Ibu lebih dominan mengalir dalam diriku. Iya, kami tak begitu serupa, namun kami memiliki sifat yang hampir sama. Sama-sama melankolis, sama-sama sensitif, sama-sama memiliki rasa ingin tahu yang sangat aktif. Terkadang ada beberapa sifat Ibu yang tidak aku sukai, dan ternyata Ibu merasakan hal sama. Sifatku yang terbilang cuek juga sedikit membuat ibu tidak begitu suka. Wajar bukan? we’re humans. Tapi, ikatan batin antara Ibu dan anak begitu sangat kuat, hingga setiap kondisi membuat kami mengerti, hingga akhirnya mampu memahami sifat masing-masing.

Ibu pernah membuat aku menangis. Merasa bahwa tuntutan Ibu begitu kejam sampai batinku begitu sakit. Tapi aku tidak bisa marah ataupun kesal, aku hanya bisa menangis secara diam-diam bahkan terang-terangan didepan Ibu. Kita juga pernah berselisih pendapat, sampai Ibu uring-uringan. Semua hal yang membuat kebiasaan bercerita kita terhenti sejenak, kami diam dan berintropeksi. Setelah hari yang cukup buruk itu berlalu, keadaan kembali normal. Keadaan kembali baik, masing-masing dari kita mulai menerima keadaan yang telah terjadi. Lalu kami bercerita lagi.

Aku juga pernah membuat Ibu menangis. Air matanya sempat menetes. Entahlah, aku cukup sulit mendefinisikan arti tangis itu. Setiap air mata seorang Ibu jatuh, aku selalu takut. Takut jika tidak bisa membuatnya berhenti jatuh, karena itu adalah hal yang aku benci. Mataku sudah mulai merasa pedih, kemudian sedikit basah, dan akhirnya ikut menangis. Kesalahanku mungkin cukup banyak, dan aku tidak mengetahuinya. Ibu selalu diam, dan tidak pernah mau menceritakannya. Namun, hari yang penuh haru itu telah berlalu. Aku berhasil mengembalikan tawanya lagi, menghapus kesedihan dalam dirinya. Jauh dari dasar hatiku, aku meminta maaf untuk segalanya. Maafku mungkin tak terbayar, bahkan tidak cukup. Aku hanya yakin, kasih sayang Ibu begitu besar untukku. Tulus.

Ada pesan Ibu yang selalu aku ingat. Ibu selalu memintaku untuk tidak pernah kecewa. Ibu juga ingin melihatku untuk terus bahagia. Kebahagiaan yang aku cari, Ibu mengetahuinya. Dan saat ini, aku menanamkan janji untuk Ibu bahwa aku tidak akan kecewa dan tidak akan ada yang membuatku kecewa. Karena aku tahu, saat aku kecewa, disana ada pundak Ibu yang akan selalu siap untuk aku sandari. Dan aku juga akan mencari kebahagian untuk Ibu. Kebahagian yang akan mengiringi Ibu sampai di hari tua nanti. Dan aku akan selalu membuat Ibu bahagia, karena aku juga tahu bahwa Ibu akan siap memberikan banyak cerita yang membuatku bahagia.

Aku ingin melihat Ibu tumbuh bahagia sampai nanti. Aku juga ingin Ibu melihatku bahagia saat ini dan dimasa depan. Aku ingin seperti Ibu, yang begitu kuat dan sangat tulus memberikan kasih sayang untukku. Aku ingin seperti Ibu, yang bisa menjadi guru hebat bagiku. Aku ingin seperti Ibu, yang tidak hanya menjadi seorang Ibu tapi juga bisa menjadi seorang sahabat untukku. Dan aku ingin seperti Ibu, yang bisa memberikan kebahagiaan untuk anak-anakku nanti dimasa depan. Terimakasih Ibu.


“Cepatlah sehat Bu, kembalilah tersenyum seperti dulu…” - Anakmu



Monday, 13 February 2017

HUJAN, Sekuat Dia



Hari ini hujan lebat di luar sana, menghempas keras jutaan air di jendela besar bangunan ini. Hujan, masih menjadi hal yang selalu aku suka. Banyak hal-hal yang tiba-tiba terlintas dalam hatiku. Aku menelaah peristiwa tiap peristiwa yang berlalu, tapi terkadang aku tak mampu menemukan titik teduhnya. Entahlah, rasa penasaranku masih selalu muncul tanpa sebab.

Aku duduk di bangku tepat lurus di jendela besar tempat aku bisa memandangi hujan di luar sana. Mataku seketika dikagetkan dengan seorang wanita yang sedang berdiri di dekat jendela besar itu. Iya, wanita yang sangat aku kenal dan wanita yang sangat aku kagumi. Sungguh.

Wanita itu memiliki aura teduh yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Wanita itu tengah menatap lurus di depan jendela sedari tadi. Dia bertolak belakang dengan cuaca yang sedang terjadi saat ini. Di luar sana, petir kian gemuruh, hujan badai tampak seperti berambisi ingin menghancurkan jendela besar itu, angin bertiup kencang seolah menampar keras pepohonan tinggi besar yang tertanam di luar sana. Tapi, wanita itu berdiri dengan sangat anggun, tampak tidak terganggu sedikitpun. Gamis panjangnya menguntai lurus, berwarna merah muda, membuatnya begitu elegan. Jilbabnya pun tak ingin kalah menghiasi dirinya, tampak menari tertiup angin lembut yang lolos masuk ke dalam celah-celah kecil ruangan tempatnya berdiri.

Dia tampak muram, senyumnya tak terlihat. Ialah dia sosok wanita tegar yang sabarnya melebihi luasnya samudera di dunia. Keanggunannya muncul dalam dirinya. Menurutku, tidak ada keanggunan yang muncul jika tidak dilatih dari dalam diri. Wanita itu berlatih sangat keras agar kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak satupun menyakiti hati orang lain. Ia juga berlatih tentang meyakinkan dirinya bahwa ketika Allah membuatnya jatuh dengan setumpuk rasa sakit yang ia rasakan, maka Allah pulalah yang mampu membuatnya untuk berdiri dan terus berjalan kuat. Ia yakin, bahwa jika Allah mengujinya, Allah tahu bahwa ia lebih kuat daripada yang ia sangka. Sekali lagi, aku sungguh beruntung mengenalnya.

Dalam keseharian, dia selalu tersenyum. Begitu lembut saat kedua bibirnya melekuk indah, meskipun hati dan perasaannya sedang berkecamuk. Hanya saja, ia jarang menunjukkan kesedihannya dihadapan yang lain. Aku tahu betapa hatinya amat sangat terluka. Betapa masalah yang menimpanya, membuatnya jatuh terperosok dilubang yang amat sangat dalam. Tapi, sekali lagi saat ia jatuh, ia selalu mencoba bangkit meskipun sedikit tertatih.

Aku memahami itu, dan mengerti betapa kuatnya dia. Saat ia menangis, ia tahu bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mampu memahami betapa sulitnya ia harus menahan dan mencoba menghela nafas. Ia pun tahu, satu-satunya yang paham tentang semua hal yang ia rasakan itu hanyalah Allah. Jika air mata yang mengalir di pipi lembutnya sudah tak terbendung, maka ia juga pasrah. Biarlah Allah yang menghapusnya, karena cahaya-Nya tidak pernah redup dan mampu membuatnya bangkit disaat ia jatuh amat sangat parah.

Aku begitu takjub, kedua mataku sedikit basah. Aku ikut hanyut dalam tatapan sedihnya yang masih mematung di depan jendela besar itu. Menatap hujan. Aku menjadi seseorang yang ikut melihatnya tumbuh dan berkembang begitu hebat. Wanita kuat yang percaya bahwa dia jauh lebih kuat dari apa yang dia sangka. Aku mengerti sekarang, aura teduh yang aku rasakan, berasal dari hatinya yang memancar jauh menyinari seluruh tubuhnya.

Aku berjalan mendekat menuju kearahnya. Dia melihatku, aku pun melihatnya, lebih dekat. Kedua mataku pun bertemu dengan kedua matanya yang sedikit sendu, menandakan banyak beban yang tersimpan didalamnya. Sinar yang memancar dari kedua matanya bersinar lembut, senyumnya mengembang menenangkan. Senyumannya menular, bibirku ikut mengembang tanpa sanggup aku tahan. Kami saling tersenyum.

Badai sudah mulai mereda, tergantikan oleh gerimis yang turun perlahan. Aku bahagia mengenalnya, ialah yang telah menjadikanku yakin dan percaya bahwa setiap cobaan pasti mampu untuk kita lewati. Aku mendo’akannya, tentunya do’a yang mendatangkan banyak kebaikan. Aku ingin berkah hujan ini membuat do’aku langsung bergerak jauh menuju keatas langit.

Itulah kenapa aku menyukai hujan. Salah satunya aku bertemu dengan suatu kondisi yang begitu banyak memberiku pelajaran. Seperti wanita ini, yang mengajariku begitu dahsyatnya arti bersyukur dan begitu kuatnya arti bersabar. Ibu-