Satu hal yang paling membuatku bahagia adalah bisa
menceritakan segala hal kepada Ibu. Baik itu hal kecil ataupun hal yang besar.
Kebiasaan ini dimulai sejak aku kecil. Dari dulu Ibu selalu menanyakan hal-hal
yang tejadi padaku, tidak telat satu pun pertanyaan yang dilewatkannya. Dan
uniknya aku tidak ragu untuk menjawabnya, begitu antusias. Hal itu juga masih
terjadi saat aku tumbuh remaja, daftar pertanyaan Ibuku bertambah, bukan
hal-hal yang umum lagi, namun sudah mulai merambah ke hal-hal yang terbilang
pribadi. Ibuku bak wartawan infotainment yang berburu informasi tentang masalah
pribadi anaknya. Dan lagi-lagi, aku pun tak ragu untuk bercerita padanya,
bahkan sangat antusias. Semalam pun rasanya tak cukup untukku menjabarkan
jawaban atas pertanyaan Ibu. Seiring waktu berjalan, saat usiaku sudah memasuki
usia dewasa seperti sekarang, Ibuku tak pernah menghilangkan kebiasaan itu.
Pertanyaannya selalu muncul ditelingaku, namun kini intensitasnya sudah mulai
diminimalisir. Mungkin, Ibu mengerti posisiku yang sekarang ini, bahwa anak
gadisnya telah tumbuh dengan baik tanpa harus dihantui dengan beribu pertanyaan
ampuhnya. Namun, aku rindu akan momen itu, dimana kuhabiskan sekian malam untuk
bercerita kepada Ibu tentang hal-hal yang terjadi padaku.
Begitu pula dengan Ibu. Tidak hanya pertanyaannya yang cukup
membuatku sedikit pusing, namun sebagai buah hatinya, kebiasaan itu menurun
padaku. Aku juga ikut terbiasa menciptakan berbagai pertanyaan untuk Ibuku. Dan
hal yang juga membuatku bahagia adalah bisa mendengarkan cerita Ibu. Cerita Ibu
mungkin sedikit lucu, lebih lucu dibanding ceritaku. Ibu sering menceritakan
hal-hal yang terjadi pada orang disekitarnya. Orang-orang yang terekam dalam
visual matanya disimpan dalam memorinya, lalu setelah kembali ke rumah semua
memori itu Ibu ceritakan kepadaku. Dengan sedikit bumbu guyonan, mendengar
cerita Ibu cukup membuat tawaku lepas hingga perutku terasa lemas menahan tawa
yang sedikit berlebihan. Saat aku tertawa, Ibuku pun juga tertawa. Tawanya
lepas, tidak ada beban, begitu ringan dan wajahnya mulai memperlihatkan
beberapa kerutan. Sungguh, aku benar-benar bahagia.
Seakan tidak ingin kehilangan waktu, aku dan Ibu selalu
meluangkan waktu untuk bertukar cerita. Saat aku merasa bahagia, saat aku
merasa sulit, saat aku mulai mengenal rasa ingin menyerah, dan bahkan ketika
aku juga mulai mengalami rasanya sakit karena patah hati, Ibu mengetahuinya.
Ibu adalah orang pertama yang aku ceritakan tentang semua perasaan itu. Aku
membutuhkan pundaknya, pun juga membutuhkan petuah-petuahnya yang begitu
bijaksana. Saat aku mulai jarang berada di dekat Ibu, selalu kusempatkan untuk
berbicara padanya melalui via telepon. Dan rutinitas itu sudah seperti aturan
obat yang harus diminum kurang lebih 3 kali dalam sehari. Bahkan 3 kali belum
cukup, bisa berubah digit menjadi 5 kali sampai 6 kali dalam sehari. Begitu
juga dengan Ibu, lebih posesif dari yang aku bayangkan. Terkadang aku sempat
dilempari beberapa omelan kecil karena aku mengabaikan panggilannya. Itu hal
kecil, tapi bagiku sangat membahagiakan.
Aku dan Ibuku memiliki rentang usia 20 tahun. Iya, selisih
usia kami. Mungkin karena hal itulah, aku sering merasa bahwa Ibu adalah
sahabat terbaikku. Tempat paling nyaman untuk bercerita semua hal. Tak hanya
usia, sifat dan kebiasaan pun tidak jauh beda. Mungkin hormon genetik Ibu lebih
dominan mengalir dalam diriku. Iya, kami tak begitu serupa, namun kami memiliki
sifat yang hampir sama. Sama-sama melankolis, sama-sama sensitif, sama-sama
memiliki rasa ingin tahu yang sangat aktif. Terkadang ada beberapa sifat Ibu
yang tidak aku sukai, dan ternyata Ibu merasakan hal sama. Sifatku yang
terbilang cuek juga sedikit membuat ibu tidak begitu suka. Wajar bukan? we’re humans. Tapi, ikatan batin antara
Ibu dan anak begitu sangat kuat, hingga setiap kondisi membuat kami mengerti,
hingga akhirnya mampu memahami sifat masing-masing.
Ibu pernah membuat aku menangis. Merasa bahwa tuntutan Ibu
begitu kejam sampai batinku begitu sakit. Tapi aku tidak bisa marah ataupun kesal,
aku hanya bisa menangis secara diam-diam bahkan terang-terangan didepan Ibu.
Kita juga pernah berselisih pendapat, sampai Ibu uring-uringan. Semua hal yang
membuat kebiasaan bercerita kita terhenti sejenak, kami diam dan berintropeksi.
Setelah hari yang cukup buruk itu berlalu, keadaan kembali normal. Keadaan
kembali baik, masing-masing dari kita mulai menerima keadaan yang telah
terjadi. Lalu kami bercerita lagi.
Aku juga pernah membuat Ibu menangis. Air matanya sempat
menetes. Entahlah, aku cukup sulit mendefinisikan arti tangis itu. Setiap air
mata seorang Ibu jatuh, aku selalu takut. Takut jika tidak bisa membuatnya
berhenti jatuh, karena itu adalah hal yang aku benci. Mataku sudah mulai merasa
pedih, kemudian sedikit basah, dan akhirnya ikut menangis. Kesalahanku mungkin
cukup banyak, dan aku tidak mengetahuinya. Ibu selalu diam, dan tidak pernah
mau menceritakannya. Namun, hari yang penuh haru itu telah berlalu. Aku
berhasil mengembalikan tawanya lagi, menghapus kesedihan dalam dirinya. Jauh
dari dasar hatiku, aku meminta maaf untuk segalanya. Maafku mungkin tak
terbayar, bahkan tidak cukup. Aku hanya yakin, kasih sayang Ibu begitu besar
untukku. Tulus.
Ada pesan Ibu yang selalu aku ingat. Ibu selalu memintaku
untuk tidak pernah kecewa. Ibu juga ingin melihatku untuk terus bahagia.
Kebahagiaan yang aku cari, Ibu mengetahuinya. Dan saat ini, aku menanamkan
janji untuk Ibu bahwa aku tidak akan kecewa dan tidak akan ada yang membuatku
kecewa. Karena aku tahu, saat aku kecewa, disana ada pundak Ibu yang akan
selalu siap untuk aku sandari. Dan aku juga akan mencari kebahagian untuk Ibu.
Kebahagian yang akan mengiringi Ibu sampai di hari tua nanti. Dan aku akan
selalu membuat Ibu bahagia, karena aku juga tahu bahwa Ibu akan siap memberikan
banyak cerita yang membuatku bahagia.
Aku ingin melihat Ibu tumbuh bahagia sampai nanti. Aku juga
ingin Ibu melihatku bahagia saat ini dan dimasa depan. Aku ingin seperti Ibu,
yang begitu kuat dan sangat tulus memberikan kasih sayang untukku. Aku ingin
seperti Ibu, yang bisa menjadi guru hebat bagiku. Aku ingin seperti Ibu, yang
tidak hanya menjadi seorang Ibu tapi juga bisa menjadi seorang sahabat untukku.
Dan aku ingin seperti Ibu, yang bisa memberikan kebahagiaan untuk anak-anakku
nanti dimasa depan. Terimakasih Ibu.
“Cepatlah sehat Bu, kembalilah tersenyum seperti dulu…” -
Anakmu